Hukuman Cambuk tidak Melanggar HAM (Tanggapan Terhadap Amnesty Interntional)
Oleh Muhammad Yusran Hadi, Lc, MA
Penerapan syariat Islam di Aceh kembali digugat dan “diserang”. Kali ini, gugatan dan “serangan” tersebut datang dari Direktur Asia Pasifik Amnesty Internasional (AI), Sam zarifi, yang mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan penggunaan cambuk sebagai bentuk hukuman dan mencabut peraturan yang menerapkannya di Provinsi Aceh, karena dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) internasional, melalui siaran persnya yang diterima Harian Aceh, Minggu (22/5).
AI juga menyerukan kepada pemerintah pusat Indonesia untuk mengkaji semua hukum dan peraturan lokal untuk menjamin keselarasan mereka dengan hukum dan standar HAM internasional, juga dengan ketentuan ketentuan-ketentuan HAM dalam undang-undang domestik (Harian Aceh, 23/5/2011).
Sejak Aceh memproklamirkan sebagai “negeri syariat” pada tahun 2002, berbagai rintangan dan tantangan terus menghadang. Berbagai “serangan” dan gugatan dialamatkan kepada penerapan syariat Islam di Aceh, baik datangnya dari pihak luar (non muslim) maupun dari pihak dalam (muslim sekuler).
“Serangan” dan gugatan yang bertubi-tubi tersebut terus bermunculan sampai hari ini, seakan tak habis-habisnya. Dengan dalih HAM, para penentang syariat Allah berteriak lantang menentang penerapan syariat Islam di Aceh. Tujuannya jelas, mendiskriditkan syariat Islam dan tidak rela syariat Islam diterapkan di Aceh.
Berkaitan dengan hal ini, al-Quran telah mengingatkan kita terhadap pihak-pihak yang tidak rela dan senang dengan syariat Islam untuk selama-lamanya (QS. 2 : 120). Perasaan tidak suka terhadap syariat Islam juga telah merasuk ke dalam sanubari orang Islam yang sekuler dan liberal, yang notabenenya sebagai murid dan pengikut setia para misionaris dan orientalis.
Untuk menepis berbagai tuduhan negatif dan syubhat terhadap syariat Islam yang mulia ini, maka menurut penulis, kita perlu menjelaskan maksud dan tujuan syariat Islam secara utuh, konfrehensif dan objektif. Agar syariat Islam tidak pandang negatif dan disalah dipahami.
Maksud dan tujuan syariat Islam
Islam merupakan agama yang sempurna dan penutup agama samawi. Hanya Islam satu-satunya yang diakui dan diridha Allah Swt untuk umat manusia (QS. 3: 19 dan QS. 5 : 3). Syariat Islam datang sebagai penyempurna sekaligus penghapus syariat Nabi-Nabi sebelumnya yang hanya bersifat temporer dan teritorial (QS. 5 : 48). Sebagai agama yang terakhir dan sempurna, Islam membawa misi perdamaian dan rahmatan lil’alamin (QS. 21 : 107 dan QS. 10 : 57).
Secara umum, maksud dan tujuan diturunkan syariat Islam adalah untuk mendatangkan kemaslahatan dan sekaligus menolak kemudharatan dalam kehidupan umat manusia. Konsep ini dikenal dengan sebutan maqashid syar’iah. Maqashid Syaria’h berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yaang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.
Dalam kitabnya al-Mustashfa, Imam al-Ghazali menjelaskan konsep maqashid syariah. Menurutnya, tujuan syara’ yang berhubungan dengan makhluk ada lima, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka. Maka, setiap hal yang mengandung upaya menjaga lima perkara pokok tersebut itu adalah maslahat. Sebaliknya, setiap hal yang tidak mengandung lima perkara pokok tersebut adalah mafsadah, dan menolaknya termasuk maslahat.
Menurut Imam Abu Zahrah, maslahat Islamiah yang diwujudkan melalui hukum-hukum Islam dan ditetapkan berdasarkan nash-nash agama adalah maslahat hakiki. Maslahat ini mengacu kepada pemeliharaan terhadap lima hal, yaitu memelihara agama, jiwa, harta, akal dan keturunan. Ini disebabkan dunia, tempat manusia hidup, ditegakkan di atas pilar-pilar kehidupan yang lima itu.Tanpa terpeliharanya hal ini tidak akan tercapai kehidupan manusia yang luhur secara sempurna.
Oleh karena itu, kemuliaan manusia tidak bisa dipisahkan dari pemeliharaan terhadap lima hal tadi. Agama, misalnya, merupakan keharusan bagi manusia. Dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dibawa oleh ajaran agama, manusia menjadi lebih tinggi derajatnya dari derajat hewan. Sebab beragama adalah salah satu ciri khas manusia. Dalam memeluk suatu agama, manusia harus memperoleh rasa aman dan damai, tanpa ada intimidasi. Islam dengan peraturan-peraturan hukumnya melindungi kebebasan beragama (Ushul Fiqh, hal. 320).
Maka jelaslah bahwa dalam konsep maqashid syariah ada lima kebutuhan kehidupan primer manusia yang mesti ada (ad-dharuriyyat al-khams) atau kini populer dengan sebutan HAM (Hak Asasi Manusia) yang dilindungi oleh syariat yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta. Syariat diturunkan untuk memelihara kelima HAM tersebut. Pelanggaran terhadap salah satu daripadanya dianggap sebagai suatu kriminal (jarimah).
Untuk menjaga kemaslahatan adh-dharuriyat al-khams atau HAM, Islam mensyariatkan sanksi (uqubat) yang cukup tegas, yaitu hukuman hudud, qishash dan ta’zi,r demi menciptakan kemaslahatan publik dan menolak kemudharatan. Hukuman murtad (had ar-riddah) yaitu dibunuh, bertujuan untuk menjaga kemaslahatan agama, agar orang tidak mempermainkan agama dengan seenaknya. Hukuman minum minuman keras (had al-khamr) yaitu cambuk delapan puluh kali atau empat puluh kali bertujuan untuk menjaga akal agar tetap baik dan sehat.
Hukuman zina (had az-zina) yaitu seratus kali cambuk bagi yang belum kawin (ghair muhshan) dan rajam bagi yang sudah kawin (muhshan) bertujuan untuk menjaga nasab dan menghindari dari penyakit yang berbahaya. Hukuman tuduhan berzina (had al-qazf) yaitu dicambuk delapan puluh kali bertujuan untuk menjaga kehormatan. Hukuman pencurian (had as-sariqah) yaitu potong tangan bertujuan untuk menjaga harta. Dan hukuman pembunuhan dan penganiayaan yaitu qishah (dibunuh atau dianiaya pula) bertujuan untuk menjaga jiwa manusia.
Oleh karena itu, dalam Islam dikenal beberapa jenis hukuman seperti potong tangan, cambuk, rajam, qishah dan bunuh. Hukuman ini diberikan sesuai dengan jenis dan tingkatan kriminalnya. Tujuan semua jenis hukuman ini adalah untuk menjaga kehormatan seseorang, menjaga masyarakat dari kekacauaan dan prilaku buruk atau hina, mensucikan jiwa yang telah ternoda dengan dosa, dan memelihara kemaslahatan asasi manusia yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta.
Di samping itu tujuan utamanya yaitu untuk memberi efek jera dan pembelajaran sehingga dapat mencegah perbuatan kriminal atau maksiat. Dengan demikian, maka jelaslah bahwa hukuman dalam Islam bertujuan untuk menjaga dan melindungi HAM.
Meskipun secara kasat mata hukuman Islam terkesan kejam dan keras, namun sebenarnya syariat Islam dalam menentukan hukuman lebih banyak bertujuan sebagai sarana untuk mencapai kemaslahatan publik dan menjaganya. Hukuman yang ditetapkan untuk kriminal itu lebih bersifat preventif, sehingga orang akan menahan diri dari melakukan hal itu. Hukuman tidak akan efektif bila hanya sebatas melarang, tanpa ada sanksi yang tegas.
Dengan kata lain, tanpa sanksi yang tegas dan menjerakan, suatu aturan/hukum tidak punya konsekuensi apa-apa. Sebaliknya, bila disertai dengan hukuman yang tegas dan keras , maka segala aturan baik bersifat perintah atau larangan itu akan diperhitungkan dan memiliki arti. Inilah tabiat suatu hukuman.
Tanggapan terhadap Amnesty International (AI)
Menyikapi pernyataaan dan desakan AI tersebut, maka penulis perlu menyampaikan tanggapan sebagai berikut;
Pertama, tuduhan AI tersebut telah mendiskriditkan Islam, bahkan melanggar HAM umat Islam. Umat Islam dimana pun berada –termasuk di Aceh- berhak dan bebas mengamalkan agamanya tanpa larangan dan intimidasi. Syariat Islam di Aceh hanya diperuntukkan bagi umat Islam yang berada di wilayah hukum Aceh, bukan bagi non Islam atau umat Islam di luar Aceh.
Kedua, salah satu point dari Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia bahwa setiap manusia dijamin untuk bebas beragama dan melaksanakan keyakinan agamanya. Hal ini juga dijamin oleh hukum di Indonesia yaitu UUD 1945 tentang kebebasan beragama dan melaksanakan keyakinan agamanya, sehingga pelaksanaan Syariat Islam di Aceh (secara legal formal telah diamanahkan oleh Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia), dalam baik dalam dimensi privat dan publik merupakan pengejawantahan dari kebebasan beragama. Oleh karena itu tuduhan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan meminta hukuman cambuk di Aceh dicabut oleh Direktur Asia Pasifik Amnesty International, Sam Zarifi, menjadi tidak beralasan.
Ketiga, AI menuduh hukuman cambuk bertentangan dengan HAM. Namun, yang menjadi persoalan, HAM mana yang dimaksud AI? Karena, konsep HAM dalam paradigma Islam berbeda dengan konsep HAM dalam paradigma Barat yang cederung mengasihani si pelaku maksiat (kriminal), tanpa mengasihani korbannya. Dimana prinsip keadilan dalam HAM Barat?
Selain itu, menurut HAM made in Barat hubungan seks bebas dibolehkan asal suka-sama suka. Begitu pula mabuk-mabukkan asal tidak menggangu orang lain. Dimana nilai moral dalam HAM barat? Apa bedanya dengan binatang? Kalau HAM model barat ini yang dimaksud, maka AI telah salah sasaran dalam menuduh. Karena, orang Aceh itu muslim dan Aceh merupakan daerah yang resmi menerapkan syariat Islam. HAM model barat sangat bertentangan dengan Islam. Maka, tidak boleh dipakai oleh umat Islam dimanapun, termasuk di Aceh.
Keempat, AI telah mengintervensi urusan agama seseorang dan aturan sebuah negara, maka AI telah melanggar HAM pula. Padahal, Islam tidak pernah mencampuri urusan agama lainnya. Bahkan Islam memberi kebebasan bagi agama lain untuk beragama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya (QS. 109 : 6 dan QS. 2 : 256). Ini jelas melanggar HAM umat Islam dan berbagai aturan yang berlaku di negara RI seperti UUD 1945, UU no 44 tahun 1999, UU no 11 tahun 2006, dan sebagainya.
Kelima, salah satu alasan yang dikemukakan oleh Sam Zarifi bahwa cambukan bisa mengakibatkan cedera jangka panjang atau permanen terlalu mengada-ngada dan yang bersangkutan tidak memperoleh informasi yang utuh bagaimana mekanisme dan proses pelaksanaan hukum cambuk di Aceh. Kalau pun hukuman tersebut menimbulkan rasa sakit dan malu, itu merupakan bagian dari efek jera yang ingin dicapai dari suatu proses penerapan hukuman bagi pelaku kejahatan. Sehingga, menjadi pelajaran bagi pelaku dan orang lain.
Keenam, konsekwensi ketika sudah memilih Islam sebagai agama, maka suka tidak suka aturan hukum-hukum agama tersebut harus diberlakukan kepada yang bersangkutan. Dan ini sangat selaras dengan kebebasan beragama. Baru dikatakan melanggar HAM kalau kepada pemeluk agama selain Islam dipaksakan untuk menggunakan hukum Islam. Tidak ada aturan yang akan berjalan kalau tidak disertai dengan sanksi yang tegas.
Dengan penjelasan diatas maka jelaslah bahwa hukuman dalam Islam baik berupa potong tangan, rajam, bunuh maupun cambuk tidaklah melanggar hak asasi manusia, justru sebaliknya hukuman tersebut bertujuan untuk melindungi HAM dan memberikan keadilan yang sejati, serta menjamin keamanan dan ketertiban dalam masyarakat.
Pemerintah, baik di Aceh maupun di Pusat, diharapkan komit terhadap amanah Undang-Undang yang melegalkan secara formal penerapan syariat Islam di Aceh dan tidak terpengaruh dengan desakan AI dan pihak lainnya. Kepada AI diminta untuk menghormati umat Islam dan hukum yang berlaku di Indonesia.
Penulis adalah Dosen fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Kandidat Doktor Fiqh & Ushul Fiqh, International Islamic University Malayasia (IIUM), Ketua Biro Dakwah Dewan Dakwah Aceh.