Anehnya Pemerintah Negeri Ini
Joglosemar Rabu, 05/05/2010 09:00 WIB – Achmad
Kementerian Hukum dan HAM meresmikan penjara khusus bagi koruptor pada 27 April lalu. Kapasitas penjara khusus untuk kasus korupsi itu adalah 256 orang. Salah satu alasan dibangun penjara khusus koruptor, adalah untuk memenuhi standar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Di samping itu, Sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat mengusulkan penjara khusus untuk tahanan korupsi. KPK tidak ingin tahanan korupsi dicampur dengan tersangka lain.
Usulan ini kembali diwacanakan KPK setelah Artalyta Suryani, Darmawati Dareho, Ines, dan Ary mendapatkan fasilitas khusus di Rutan Pondok Bambu. Artalyta mendapat ruangan terpisah dengan tahanan lain dengan fasilitas mewah. Di dalam ruangannya yang besar, terdapat televisi, kulkas, pendingin ruangan, dan meja kantor.
Di tengah carut-marut kondisi lembaga permasyarakatan yang ada, nampaknya kebijakan adanya penjara khusus bagi koruptor perlu dikaji ulang. Secara kasat mata, penjara khusus bagi koruptor sangat timpang dengan realitas penjara pada umumnya yang sangat padat karena daya tampung penjara yang sudah melebihi kapasitas, dengan kondisi ruangan yang masih jauh dari harapan.
Pemerintah negeri ini memang aneh. Terbongkarnya mafia hukum di dalam lembaga pemasyarakatan (Lapas), bukan menjadi cambuk untuk menertibkan aparatur internal Lapas. Kementerian Hukum dan HAM justru membuat penjara khusus bagi koruptor.
Ibarat penyakit, persoalan carut-marut di dunia penjara nampaknya telah mencapai stadium empat yang sangat ganas. Persoalan ini telah menyebar baik dalam substansi hukum (peraturan perundang-undangan), struktur hukum (organisasi atau birokrasi aparatur lembaga pemasyarakatan) maupun kultur hukum (realitas sosial, interaksi antara masyarakat dengan aparat birokrasi Lapas yang sering menimbulkan budaya korup).
Asas Persamaan
Berbicara tentang penegakan hukum, berarti berbicara juga tentang hukum itu sendiri. Di dalam ilmu hukum mengenal asas equality before the law. Dalam konteks ini, idealnya semua orang mempunyai kedudukan yang sama di dalam penjara. Tidak peduli kaya atau miskin, anak pejabat atau rakyat jelata, bahkan tidak peduli sebelumnya berstatus pejabat tinggi atau pengangguran. Semuanya memiliki perlakuan sama di depan hukum.
Namun realitasnya, penegakan asas equality before the law dalam konteks penegakan hukum memang sulit ditemukan. Menurut Donald Black dalam buku The Behaviour of Law, proses bekerjanya hukum di samping menegakkan pasal-pasal dalam undang-undang, juga dipengaruhi oleh faktor di luar hukum. Salah satunya adalah stratifikasi sosial. Semakin kuat stratifikasi sosial (kedudukan) seseorang, maka semakin berpotensi orang itu mendapatkan perlakuan berbeda di depan hukum. Lihat saja bagaimana perlakuan hukum terhadap pencuri, antara pencuri ayam dengan pencuri uang rakyat (koruptor), tentunya koruptor akan mendapat perlakuan yang berbeda di setiap tahapan proses hukum. Lihat juga bagaimana Artalyta dapat memainkan hukum dengan mudahnya dalam setiap tahapan proses hukum yang dihadapinya. Hal ini karena pelaku memiliki stratifikasi sosial yang berbeda baik karena kekayaannya, kekuasaannya, akses jaringan politik, faktor intelektual dan lain sebagainya.
Dalam paradigma negara hukum, apabila seseorang diputus bersalah oleh pengadilan dan dimasukkan dalam penjara, maka orang tersebut akan kehilangan atau dibatasi hak-haknya. Idealnya hal ini diperlakukan sama bagi setiap tindak pidana di Indonesia. Namun realitasnya, pemerintah memberikan perlakuan berbeda bagi para koruptor. Hadirnya penjara khusus koruptor, membuat publik bertanya-tanya keseriusan pemerintah dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Adanya penjara khusus bagi koruptor, terkesan mengistimewakan terhadap tindak pidana korupsi. Di tengah hiruk-pikuk perang melawan korupsi, pemerintah justru memberikan penjara khusus bagi para koruptor. Nampaknya sekarang, ada indikasi gerakkan mengubah citra koruptor dari penjahat menjadi sosok orang baik. Lihat saja penanganan tindak pidana korupsi mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, vonis hakim, sampai di lembaga pemasyarakatan, serba mendapatkan pelayanan khusus. Bandingkan dengan penanganan terhadap tindak pidana terorisme yang sama-sama termasuk kejahatan luar biasa.
Asas Manfaat
Apabila memang diperlukan adanya penjara khusus bagi narapidana, maka perlu dikaji secara komprehensif berdasarkan asas manfaat demi terciptanya lembaga pemasyarakatan yang aman, tertib dan dapat memulihkan atau menobatkan narapidana dari perbuatan jahat yang telah dilakukannya. Tentunya konsep penjara khusus harus dilakukan dengan sistem pengawasan yang ketat (super maximum security) dengan membatasi segala akses yang berpotensi melakukan kejahatan baru. Penjara khusus harus diberikan dengan skala prioritas kepada narapidana tertentu. Hal itu dengan mempertimbangkan tingkat kerawanan menyebarnya dampak buruk yang lebih luas baik bagi diri sendiri, maupun bagi narapidana lainnya di lingkungan Lapas.
Contoh beberapa narapidana yang dapat diprioritaskan untuk mendapatkan penjara khusus antara lain, pertama, narapidana kasus narkotika khususnya para pemakai narkotika yang telah mengalami kecanduan berat. Rehabilitasi atau terapi di tempat khusus lebih urgen dilakukan, agar terpidana dapat terlepas dari penyakit ganasnya dan diharapkan dapat kembali hidup wajar di masyarakat. Tindak pidana narkotika juga berpotensi menimbulkan penyakit menular yang berbahaya seperti penyakit AIDS sehingga perlu dipisahkan dengan narapidana lainnya.
Kedua, narapidana tindak pidana terorisme. Jenis narapidana ini memiliki kerawanan karena faktor ideologis yang diyakininya. Para pelaku terorisme melakukan tindak pidana disebabkan memperjuangkan ideologi tertentu yang diyakininya. Hal ini tentunya harus mendapat tempat penjara khusus agar pengaruh ideologi tersebut tidak menyebar kepada narapidana yang lainnya. Ruang dialog ideologis pun dapat dilakukan sebagai terapi khusus terhadap pemikiran terorisme yang sering mendatangkan korban jiwa.
Ketiga, narapidana yang melakukan tindak pidana secara sadis atau kejam, seperti pembunuhan massal dengan cara memutilasi korban dan sejenisnya.
Pada dasarnya, penjara khusus terhadap narapidana tidak perlu dilakukan apabila pemerintah dapat memberikan jaminan hak-hak dasar setiap narapidana. Yaitu kelayakan lembaga pemasyarakatan baik dari segi bangunan, daya tampung kamar bagi penghuni Lapas, maupun fasilitas kesehatan. Pemerintah harus lebih bijaksana dalam mengelola narapidana, agar tidak menjadi titik balik perlawanan akibat perlakuan diskriminasi yang sering didapat oleh para narapidana yang tidak memiliki sosial kapital atau akses terhadap kekuasaan.